Dear all,
Sekedar sharing terhadap apa yang saya pikirkan mengenai sebuah proses pembelajaran di dalam kehidupan sehari-hari, baik secara formal di sekolah ataupun informal di keluarga dan masyarakat. Apalagi pada saat ini sarana kita untuk belajar hal-hal baru menjadi semakin mudah dengan adanya akses berbagai informasi di Internet maupun media-media lainnya. Sangat berbeda dibanding 10-20 tahun lalu, dimana kita harus bertemu langsung dengan narasumbernya atau harus mendapatkan buku-buku yang sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Saya ingat sebuah filosofi lama (maaf belum ketemu sumber aslinya dari mana) mengenai belajar adalah seperti mengisi air di gelas. Ada beberapa syarat yang harus kita lakukan agar bisa mengisi air dalam gelas, yaitu terbuka, kosong dan lebih rendah. Saya coba ulas satu-persatu syarat tersebut di bawah ini, dari persepsi dan pemahaman saya pribadi.
Ketika kita ingin mempelajari sesuatu yang baru, pasti hal pertama yang harus dilakukan adalah membuka pikiran dan hati kita. Seberapa hebat dan tingginya tingkat pendidikan kita, tidak akan pernah bisa menerima hal-hal baru jika kita menutup diri dan menganggap hal tersebut tidak bermanfaat bagi kita. Ternyata, bukan hal yang mudah untuk bisa membuka pikiran dan hati kita apalagi kita sudah mendapatkan gelar pendidikan yang tinggi dan posisi jabatan yang lumayan. Belum lagi jika emosi sudah menguasai pikiran/hati kita, pasti akan selalu menganggap hal-hal lain yang berbeda dengan kita sebagai sesuatu yang salah dan tidak perlu dipelajari dan dipahami. Apakah itu di lingkungan pembelajaran formal misal di forum-forum ilmiah di suatu institusi pendidikan, atau debat tentang apapun (politik, sosial, kesehatan dan lain-lain), ataupun di lingkungan informal seperti diskusi ringan di rumah ataupun masyarakat. Baik melalui pertemuan secara fisik atau melalui media eletronik seperti Social Media, email, chat dan sejenisnya. Marilah kita merenung sejenak dan membuka pikiran dan hati kita agar bisa mempelajari dan memahami apa yang sedang terjadi. Seperti membuka tutup gelas sehingga pengisian air bisa dilakukan.
Hal kedua adalah mengosongkan pikiran dan hati, walau bukan dalam artian sebenarnya. Lebih kepada bagaimana kita menata ulang lagi apa-apa yang sudah kita pahami, agar ada tempat untuk hal-hal baru yang sedang kita pelajari. Tidak seperti gelas yang penuh terisi air, sehingga tidak bisa diisi lagi atau akan tumpah, insya Allah kita dikarunia otak/hati yang sangat luas dan tidak akan pernah bisa penuh ketika kita mampu mengaturnya. Biarkan seluruh indera kita menerima hal-hal baru tersebut, yang nantinya akan proses lagi perlahan-lahan dalam rangka memahami, mungkin akan terjadi proses pertentangan, yang nantinya akan mengendap menjadi suatu pengetahuan baru. Jika hal-hal tersebut tidak sesuai dengan kita, dengan perlahan-lahan kita lupakan tanpa harus disimpan lebih dalam lagi.
Bagian terakhir adalah kerelaaan kita menempatkan diri lebih rendah dari sumber informasi atau pengetahuan baru yang akan kita pelajari. Mengisi air ke dalam gelas secara normal, sesuai hukum gravitasi, harus menempatkan gelas lebih rendah agar air bisa mengalir. Beda cerita kalau kita menggunakan pompa atau alat bantu sejenisnya ya hehe. Sumber informasi/pengetahuan tersebut mungkin bisa berasal dari anak kita, dari murid/mahasiswa, atau bawahan di kantor, masyarakat awam dan sebagainya. Ternyata banyak hal baik yang bisa kita pelajari dan pahami di luar sana, walau dari sumber yang kebetulan posisinya lebih rendah (usia, pengalaman, kedudukan dan lain-lain). Untuk itu, kita harus bisa merendahkan hati untuk bisa menampung aliran informasi/pengetahuan baru masuk ke dalam hati dan pikiran kita. Hal ini pun juga tidak mudah dilakukan, apalagi kita sudah merasa sebagai nara sumber yang sudah dipercaya di mana-mana. Kita harus ikhlas memahami bahwa mungkin saja pemahaman kita saat ini tidak tepat lagi dan mampu bisa menerima masukan-masukan tersebut.
Semoga sebuah tulisan sederhana ini bisa menyadarkan kita semua, terutama untuk saya pribadi, dalam memaknai sebuah proses pembelajaran. Dalam kondisi saat ini yang begitu banyaknya informasi bertebaran di sana-sini dari berbagai sumber yang tidak jelas keabsahannya, kita bisa menerapkan 3 hal tersebut di atas. Menjadi kewajiban bagi kita juga, jika sudah memahami proses tersebut untuk menyebarkan di lingkungan sekitar. Semoga kita semua bisa menjadi makhluk pembelajar yang baik, santun, beretika dan bermanfaat bagi semuanya, aamin YRA.
Salam hangat dari Jogja, 11 Mei 2016
Surahyo Sumarsono
Wednesday, June 15, 2016
Wednesday, May 25, 2016
Baca, pahami, renungkan
Dear all,
Selamat pagi/siang/sore/malam, semoga teman-teman dalam keadaan sehat selalu. Sudah lama sekali saya tidak menulis Notes disini, kali ini mencoba share apa yang sedang saya renungkan. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya informasi (atau malah data) yang bermunculan di Internet, baik melalui FB, Instagram, Path, Whatsapp, Line, SMS, email dan berbagai bentuk komunikasi elektronik dan sosial media. Sebelum membaca lebih jauh, saya ingin berbagi dulu 2 (dua) gambar berikut ini. Yang pertama mengenai gunung es attitude, dan yang kedua mengenai piramida informasi.
Berdasarkan kedua gambar tadi, mari kita coba cermati bersama. Dari piramida informasi, terlihat bahwa pertama kali kita akan mendapatkan data-data yang nantinya setelah terkumpul akan memberi arti terhadap sesuatu, yang akan kita sebut sebagai informasi. Informasi ini bisa saja benar, salah, berguna, tidak berguna dan seterusnya. Dari berbagai informasi yang terkumpul dari banyak sumber, mulailah kita mendapatkan pemahaman (knowledge), yang kadang harus melalui diskusi, pertentangan, pengujian dan seterusnya. Artinya, tidak mudah bagi kita langsung memahami sesuatu jika hanya mendapatkan informasi yang sedikit dan belum tentu kebenarannya. Pemahaman tersebut pasti membutuhkan waktu dan usaha tersendiri, yang di era serba instan seperti ini kadang kita tidak sabar untuk melakukannya. Apalagi jika emosi kita terpancing, akan sangat mudah bagi kita untuk memaksa memahami dan berkeinginan untuk menyebarkannya. Contoh sederhana adalah jika ada informasi tentang sesuatu/seseorang yang sifatnya di luar kebiasaan, baik dari sisi positif maupun negatif. Terbukti bahwa kadang kita terpancing untuk sharing informasi yang ternyata tidak terbukti kebenarannya (HOAX). Hal ini sudah lama terjadi, tapi semakin menjadi terutama sejak ada PilPres 2014 lalu, dan berlanjut sampai sekarang. Ini berlaku juga dengan hal-hal terbaru akhir-akhir ini seperti serangan teroris di Jakarta, tangan robot, perakit televisi, keracunan kopi dan lain-lain.
Selamat pagi/siang/sore/malam, semoga teman-teman dalam keadaan sehat selalu. Sudah lama sekali saya tidak menulis Notes disini, kali ini mencoba share apa yang sedang saya renungkan. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya informasi (atau malah data) yang bermunculan di Internet, baik melalui FB, Instagram, Path, Whatsapp, Line, SMS, email dan berbagai bentuk komunikasi elektronik dan sosial media. Sebelum membaca lebih jauh, saya ingin berbagi dulu 2 (dua) gambar berikut ini. Yang pertama mengenai gunung es attitude, dan yang kedua mengenai piramida informasi.
Berdasarkan kedua gambar tadi, mari kita coba cermati bersama. Dari piramida informasi, terlihat bahwa pertama kali kita akan mendapatkan data-data yang nantinya setelah terkumpul akan memberi arti terhadap sesuatu, yang akan kita sebut sebagai informasi. Informasi ini bisa saja benar, salah, berguna, tidak berguna dan seterusnya. Dari berbagai informasi yang terkumpul dari banyak sumber, mulailah kita mendapatkan pemahaman (knowledge), yang kadang harus melalui diskusi, pertentangan, pengujian dan seterusnya. Artinya, tidak mudah bagi kita langsung memahami sesuatu jika hanya mendapatkan informasi yang sedikit dan belum tentu kebenarannya. Pemahaman tersebut pasti membutuhkan waktu dan usaha tersendiri, yang di era serba instan seperti ini kadang kita tidak sabar untuk melakukannya. Apalagi jika emosi kita terpancing, akan sangat mudah bagi kita untuk memaksa memahami dan berkeinginan untuk menyebarkannya. Contoh sederhana adalah jika ada informasi tentang sesuatu/seseorang yang sifatnya di luar kebiasaan, baik dari sisi positif maupun negatif. Terbukti bahwa kadang kita terpancing untuk sharing informasi yang ternyata tidak terbukti kebenarannya (HOAX). Hal ini sudah lama terjadi, tapi semakin menjadi terutama sejak ada PilPres 2014 lalu, dan berlanjut sampai sekarang. Ini berlaku juga dengan hal-hal terbaru akhir-akhir ini seperti serangan teroris di Jakarta, tangan robot, perakit televisi, keracunan kopi dan lain-lain.
Jika kita mau sedikit berusaha, dengan melihat sumber informasi, membandingkan dengan sumber lain, berusaha mempertanyakan kebenarannya, sebenarnya kita sedang berusaha naik satu tingkat lebih atas untuk mendapatkan pemahaman (knowledge). Internet banyak memberi kemudahan dengan adanya search engine (misal Google), atau bahkan diskusi dengan orang yang lebih ahli atau sumber-sumber lain, untuk bisa memastikan dan mendapatkan informasi yang benar dan akurat.
Dengan berjalannya waktu, semakin kita meresapi pemahaman-pemahaman yang kita miliki, maka kita akan naik ke tingkat lebih tinggi lagi yaitu kebijaksanaan (wisdom). Di level ini, tidak harus di bidang yang sama, maka intuisi (gerak hati/batin) akan membantu merasakan apakah informasi yang sedang kita dapatkan ini benar atau tidak, penting atau tidak untuk kita bagikan ulang (share). Di gambar kedua juga bisa dilihat, bahwa walaupun kita punya knowledge/skill yang bagus pun, tetap harus memiliki attitude yang baik pula.
Baik wisdom maupun attitude adalah hal yang kita miliki tidak hanya di otak (yang menggunakan logika), tapi juga sudah di level hati/perasaan. Makanya dalam bahasa Indonesia (atau bahasa lain), dibedakan antar pikiran (di otak/brain) dan perasaan (di hati/heart) walau secara fisik sebenarnya keduanya di otak/brain juga. Secara umum bagi kita yang masih normal, hati/perasaan akan memberi tanda/sign bahwa informasi yang kita terima sepertinya tidak benar. Disitulah sebenarnya wisdom (yang didapat dari kumpulan pemahaman2 di bidang lain) dan attitude kita berperan sebagai filter/penyaring karena saat ini begitu cepatnya dan begitu banyaknya informasi berdatangan. Wisdom dan attitude ini juga biasanya kita dapatkan dari pendidikan agama dan etika/norma baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan kita sehari-hari.
Saya kira, ada 3 hal yang perlu kita lakukan sebelum kita membagi informasi (apalagi di Internet). Pertama, pastikan dahulu apakah informasi itu benar atau tidak. Yang kedua, jika pun benar, apakah bermanfaat atau tidak bagi orang lain (dan kita tentunya). Dan yang terakhir, kalaupun bermanfaat, apakah perlu kita bagikan sekarang atau nanti. Ada banyak hal yang bisa lakukan sebelum informasi itu terbagi/terkirim, walaupun tantangannya sangat berat karena hanya dengan 1 klik saja informasi tersebut langsung terkirim.
Jika ada waktu, di bawah ada beberapa Notes sebelumnya yang berkaitan dengan topik ini. Sekali lagi, ini hanya sebuah tulisan pendek dengan 2 gambar. Semoga teman-teman ada waktu untuk membaca, memahami dan merenungkan maknanya. Semoga juga bermanfaat bagi teman-teman.
Salam hangat.
Surahyo Sumarsono
Subscribe to:
Posts (Atom)